Fikih Haji Murur (Mazhab Ringan)

Penulis : Dr. Muh. Nursalim

Sebenarnya jamaah haji Indonesia sudah biasa memilih mazhab ringan dalam ritual haji. Misalnya. Saat menyembelih hadyu banyak sekali yang menyembelih hadyu setelah pelaksanaan umrah. Padahal dahulu Nabi saw menjalankan ritual tersebut di tanggal 10 zulhijah. Pada tanggal ini beliau melakukan empat perkara yang biasa disingkat dengan رنحط singkatan dari Raml (melempar jumrah), Nahr (menyembelih hadyu), Halq (mencukur rambut) dan thawaf ifadhah.

Menyembelih hadyu setelah umrah sebelum masuk tanggal 10 zulhijah itu boleh. Walaupun ini pendapat minoritas ulama. Artinya tetap sah. Sebagaimana disebut dalam kitab kumpulan fatwa Al Azhar berikut ini.

فتاوى الأزهر - (ج 9 / ص 315)

وما دامت المسألة خلافية فالأيسر هو العمل بجواز الذبح بعد الانتهاء من العمرة

Dan masih menjadi masalah khilafiah dalam mencari kemudahan, yaitu bolehnya menyembelih hadyu setelah selesai umrah.

Menyembelih hadyu sebelum tanggal 10 Zulhijah dari berbagai sisi memang lebih ringan. Harga kambing relatif masih murah. Tempat penyembelihan belum begitu padat dan tentu saja kebiasan jamaah yang ingin melihat kambingnya di sembelih bisa kesampaian, karena masih longgar.

Ada lagi mazhab ringan yang hampir semua jamaah haji ambil paham. Yaitu, bersentuhan dengan lawan jenis saat tawaf. Seperti kita ketahui mazhab Syafii berpendapat bahwa laku seperti itu membatalkan wudhu. Demikian pula mazhab Hambali. Tetapi karena tidak mungkin menghindari sentuhan dengan lawan jenis saat tawaf maka jamaah mengambil pendapat yang ringan, yaitu pendapat Imam Malik dan Imam Hanafi. Karena menurut kedua mazhab tersebut tidak mengapa kalau hanya sentuhan kulit. Wudhunya tidak batal. Sehingga tawafnya tetap sah. Demikian dikutib Wahbah Zuhaili dalam kitab Al Fiqhu Islami Wa Adillatuhu.

Tentu sangat berat bila jamaah tetap berpegangan dengan mazhab syafii dan Hambali. Sebab tidak mungkin menghindari sentuhan dengan lawan jenis saat tawaf. Saking berjubelnya jamaah di area tawaf. Laki perempuan berdesakan jadi satu. Apalagi jika dilakukan di latar kakbah.

Untuk tarwiyah. Jamaah Indonesia juga banyak yang tidak menjalankan. Bahkan SOP penyelenggara haji nasional juga tidak mengadakaan tarwiyah. Yaitu bermalam di Mina pada tanggal 8 Zulhijah. Alur perjalanan jamaah haji Indonesia dari hotel Mekah langsung ke Arafah. Tidak pakai mampir di Mina dahulu. Ini tentu juga termasuk dalam rangka meringankan jamaah haji. Sebab kalau harus ke Mina tentu akan semakin ribet dan melelahkan.

Tahun ini ada lagi dua kebijakan yang sifatnya ingin meringankan jamah haji. Yaitu tidak mabit di Muzdalifah dan Mina. Masalah ini menjadi perbincangan seru di kalangan pegiat haji. Karena saat latihan manasik di tanah air tidak pernah disampaikan. Baik oleh pembimbing resmi maupun di KBIH. Bahkan juga tidak pernah ada ustad atau kyai yang membahas masalah ini. Istilah resminya adalah kebijakan murur di muzdalifah dan tanazul Mina.

Murur artinya lewat. Yaitu bahwa jamaah haji ada sebagian yang tidak diturunkan di Muzdalifah. Mereka hanya lewat saja. Bus berhenti sejenak kemudian kendaraan langsung menuju Mina. Alasannya tentu juga dalam rangka meringankan jamaah haji agar tidak kelelahan. Mungkin belajar dari penyelenggaraan haji tahun lalu, di mana terjadi masalah Muzdalifah akibat bus penjemput tidak segera datang. Jamaah banyak yang kepanasan dan kelaparan.

Kebijakan ini juga ada landasan fikihnya. Yaitu menurut kitab Al Fiqhu Islami wa Adilatuhu karya Wahbah Zuhaili, bahwa kadar waktu mabit di Muzdalifah itu boleh hanya sebentar. Dengan demikian ketika bus berhenti sejenak di pinggir jalan di area Muzdalifah tanpa menurunkan penumpang sudah dinilai cukup.

Atau bisa juga memakai landasan qaul jadid imam Syafii. Dalam buku modul Bimbingan Manasik Haji dan Umrah Bagi Petugas dijelaskan bahwa mabit di Muzdalifah itu hukumnya sunnah. Karena sunnah jika tidak dilakukan tidak terkena dam.

Adapun tanazul di Mina yaitu adanya jamaah yang tinggal di hotel dekat dengan Mina, mereka tidak tinggal di tenda akan tetapi tidurnya di hotel. Artinya tidak ikut mabit di Mina secara penuh. Mungkin di malam hari digerakkan ke area Mina tetapi tidak sepanjang malam. Itupun bagi mereka yang kuat jalan kaki.

Program ini sangat meringankan jamaah. Karena salah satu ritual haji yang paling berat adalah saat mabit di Mina. Berjubelnya jutaan jamaah dengan space yang sempit tentu sangat memberatkan. Apalagi fasilitas MCK juga sangat terbatas. Sehingga antrian mengular dan melelahkan.

Untuk kebijakan ini, mazhab Hanafi menjadi rujukan. Karena menurut beliau mabit di Mina hukumnya sunah. Artinya bila tidak dikerjakan tidak terkena dam. Walaupun tentu saja lebih baik tetap mabit di Mina. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tabyinu Al Haqaiq Syarhu Kanzu Ad Daqaiq sebagai berikut:

تبيين الحقائق شرح كنز الدقائق - (ج 4 / ص 390)

فَتْحُ الْقَدِيرِ ( قَوْلُهُ وَيُكْرَهُ أَنْ لَا يَبِيتَ بِمِنًى لَيَالِيَ مِنًى إلَخْ ) قَالَ فِي الْغَايَةِ

وَالْمَبِيتُ بِهِ فِي هَذِهِ اللَّيَالِيِ سُنَّةٌ عِنْدَنَا

Dalam kitab Fathul Qadir terdapat kalimat (tidak disukai bila tidak mabit di Mina). Berkata dalam kitab Al Ghayah bahwa mabit di Mina di malam-malam hari tasyrik menurut kami hukumnya sunah.

Menurut mazhab Hanafi mabit di Mina pada tanggal 8 Zulhijah yang biasa disebut tarwiyah dengan Mabit di Mina pada tanggal 11,12 dan 13 Zulhijah hukumnya sama, yaitu sunah. Karena itu apabila ditinggalkan tidak terkena dam.

Comot sana comot sini landasan hukum dalam ritual haji tahun ini tidak bisa dihindari. Karena memang fakta di lapangan tidak mungkin menjalankan sempurna seperti Rasulullah saw berhaji. Tambahan kuota 20 ribu satu sisi dapat memperpendek antrian calon jamaah haji, tetapi pada saat yang sama mempersulit pelayanan. Karena tenda di Mina tidak bertambah.

Ada 40 an ribu jamaah yang rencananya dilakukan tanazul. Tidak diberi jatah tenda di Mina. Mereka diantar balik ke hotel masing-masing yang kebetulan tidak jauh dari Mina. Secara fisik kebijakan ini sangat meringankan. Jamaah tidak perlu khawatir, semua itu masih dalam koridor pendapat ulama fikih sunni yang muktabar. Sehingga hajinya tetap dinilai sah.

Wallahua’lam